Kontektualisasi dan Reposisi Fungsi Wakaf |
Ditulis oleh Achmad Kholiq |
(Tela'ah atas Undang Undang RI Tentang Wakaf) Merujuk pada praktek pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh Nabi dan dicontohkan oleh para Shahabat, dimana sangat menekankan pada pentingnya menahan eksistensi benda wakaf, dan diperintahkan untuk menyedekahkan hasil dari pengelolaan benda tersebut. Pemahaman yang mudah dicerna dari kondisi tersebut adalah bahwa substansi wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya (wakaf) tetapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut untuk kepentingan umum. Institusi wakaf ini sesungguhnya telah dipraktikan dalam masyarakat jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, ia telah menjadi suatu bentuk adat kebiasaan yang melembaga di beberapa komunitas masyarakat di Indonesia. Sebut saja “Huma Serang”, praktik serupa wakaf dalam ajaran Islam ini telah lama dikenal di Banten, di Lombok ada “Tanah Pareman”, atau “Tanah Perdikan” di Jawa Timur, .bentuk-bentuk tersebut hampir menyerupai wakaf keluarga apabila dilihat fungsi dan pemanfaatannya yang tidak boleh diperjual belikan. Jika selama ini masalah wakaf kurang intensif dibahas bisa jadi karena umat Islam mulai hampir melupakan kegaiatan-kegiatan yang berasal dari lembaga perwakafan, selain itu adanya mismanagemen dan korupsi dalam pengelolaan wakaf menyebabkan pamor lembaga wakaf makin terlupakan. Padahal, potensi wakaf sebagai salah satu instrumen dalam membangun sosial ekonomi kehidupan umat, sesungguhnya tidak dapat dipandang sebelah mata. Wakaf telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit di beberapa negara Islam lain. Dengan pengelolaan aset wakaf yang professional, Mesir telah berhasil membangun sektor pendidikan dan medis dari dana hasil pengelolaan wakaf. Universitas al-Azhar Cairo, rumah-rumah sakit, pendidikan dan pemberdayaan tenaga pendidik serta beasiswa bagi para mahasiswa dibiayai dari hasil wakaf. Bahkan sebagai gambaran di Amerika Serikat, sebuah negara sekuler terbesar telah mengelola wakaf dari warga muslim minoritasnya secara professional oleh lembaga keuangan Islam, Kuwait Awqaf Pubilc Foundation (KADF). Potensi wakaf di Indonesia sendiri sesungguhnya dapat menjadi tumpuan harapan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat serta pengentasan kemiskinan - di samping zakat, infak dan shadaqah,- apabila dapat dikelola secara baik dan professional. Dalam praktiknya di Indonesia, perwakafan amat lekat dengan wakaf tanah meskipun pada hakikatnya benda yang dapat diwakafkan tidak terbatas pada tanah. Menurut data yang ada di Departemen Agama RI, sampai dengan bulan September 2002, jumlah seluruh tanah wakaf di Indonesia sebanyak 362,471 lokasi dengan luas 1.535.198.586,59 m2. Namun data tersebut belumlah akurat mengingat data-data tentang asset wakaf tidak terkoordinir dengan baik dan terpusat dalam satu institusi yang professional. Dan umumnya tanah-tanah tersebut dikelola secara tradisional dan tidak produktif. Sehingga kurang terasa kontribusi dan manfaatnya bagi peningkatan kualitas hidup umat. Ironisnya disamping tidak terurus dan terbengkalai, banyak tanah wakaf yang belum bersertifikat sehingga sering menjadi objek sengketa bahkan diperjualbelikan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Mengantisipasi kondisi tersebut, pemerintah telah mencanangkan beberapa tindakan antara lain : pertama, melakukan sertifikasi tanah wakaf yang ada di seluruh tanah air. Secara teknis hal ini tidaklah mudah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit maka penting untuk melibatkan instansi terkait seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam proses pembuatan sertifikat dan Pemerintah Daerah setempat guna menanggulangi pembiayaan sertifikasi, pengelolaan, pemberdayaan dan pengembangan tanah-tanah wakaf yang ada. Kedua, memberikan advokasi penuh terhadap tanah-tanah wakaf yang menjadi sengketa. Ketiga, menyusun suatu peraturan perundang-undangan yang komprehensif tentang wakaf, dalam bentuk Undang-undang. Keempat, pemanfaatan dan pemberdayaan tanah wakaf secara produktif. Sejalan dengan Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Propenas tahun 2000-2004 dan TAP MPR No.IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004 yang antara lain menetapkan arah kebijakan pembangunan hukum, maka dipandang perlu dan inhenren untuk menyusun suatu Rancangan Undang-undang tentang wakaf . Undang –undang wakaf yang telah dihasilkan oleh DPR dan Pemerintah kita sesungguhnya menyiratkan satu harapan lahirnya suatu Undang-undang yang komprehensif tentang wakaf sehingga kendala-kendala formil yang menghambat pemberdayaan wakaf dapat segera teratasi. Disadari bahwa masih belum terintegrasinya peraturan teknis pengelolaan wakaf, kelemahan pengaturan hukum persoalan wakaf terkait dengan kepastian perlindungan rasa aman bagi pihak-pihak terkait seperti wakif (orang yang mewakafkan); Nadzir (pengelola wakaf) dan maukuf alaihi (peruntukan wakaf) baik perseorangan maupun badan hukum, dan keterbatasan aturan mengenai perwakafan merupakan kelemahan dan kendala formil yang mengurangi optimalisasi pemberdayaan wakaf secara keseluruhan. Wakaf merupakan perbuatan hukum yang hanya dimiliki oleh Islam, maka potensial untuk dikembangakan sesuai dengan fungsinya dimana sekalipun berbentuk kebendaan tetapi tetap pada posisi sebagai perbuatan ibadah, karenanya penting untuk menyusun substansi yang komprehensif dan mewakili ruh yang hakiki dari lembaga wakaf ini mengingat ia adalah produk fiqh yang tidak lepas dari khilafiyah, sehingga penting untuk mencapai satu kesepakatan hukum agar dapat diterapkan. Disanalah peran legalisasi dari pihak yang berwenang dalam mengatasi perbedaan persepsi tentang wakaf. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh “hukmu al-hakim yarfa’u al-khilaf” (keputusan pemerintah akan menghilangkan perbedaan). Poin poin penting dalam Undang –Undang wakaf yang melingkupi materi yang mengatur masalah wakaf mulai dari ketentuan umum mengenai definisi dari wakaf dan hal-hal mendasar lainnya sampai pada ketentuan pidana dan sanksi administratif bagi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal iru. Sistematika Undang undang ini tampak lebih sempurna dibanding aturan tentang wakaf yang ada dalam KHI. Munculnya beberapa substansi baru yang diatur dalam undang-undang ini tampaknya merupakan jawaban dan solusi atas fenomena lembaga perwakafan di Indonesia sebagaimana digambarkan sebelumnya. Tampaknya undang-undang wakaf ini berusaha menjaring pihak-pihak yang lebih luas guna mengoptimalkan potensi wakaf. Ketentuan mengenai nazhir sebagai pengelola wakaf memang tidak banyak mengalami perubahan, tetapi tampak ada penekanan persyaratan professional dan job description yang lebih jelas bagi nazhir, tidak semata pada persyaratan normative. Hal ini mengarah pada pengelolaan wakaf yang professional dan bertanggungjawab. Selanjutnya reinterpretasi konsep wakaf yang dilatarbelakangi oleh perkembangan persoalan yang makin kompleks, perubahan sosial, perkembangan teori ekonomi dan moneter serta teori pembangunan memunculkan konsep wakaf tunai (cash waqaf) yang diprakarsai oleh Prof M.A. Mannan ,- pakar ekonomi dari Bangladesh,-. Dalam upaya optimalissai pengelolaan potensi wakaf dan perluasan cakupan harta wakaf. Undang-undang ini mengakomodir fenomena diatas dengan memungkinkan adanya waqaf dari benda bergerak berupa uang, logam mulia, surat berharga , kendaraan, HAKI, hak sewa bahkan membuka kemungkinan adanya bentuk benda/objek wakaf yang lain. Hal ini merupakan tuntutan dari stimulus riil dalam perkembangan ekonomi dan tidak lagi sekedar menjadi wacana karena telah dipraktekkan di negara-negara muslim lainnya seperti Bangladesh, Mesir, Qatar, Saudi Arabia, Kuawait dan lain-lainnya. Komisi fatwa MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa mengenai wakaf tunai ini sejak Mei 2002. Ketentuan mengenai wakaf tunai ini dapat memungkinkan timbulnya pembaharuan tentang keberlakuan wakaf yang permanen menuju wakaf dengan jangka waktu (berjangka) seperti tanah HGB, uang deposito, saham dan lain sebagainya. Walaupun udang-undang ini memang tidak menyebutkan jenis wakaf seperti ini secara eksplisit tapi tidak menutup kemungkinan dalam peraturan pelaksanaannya diatur mengenai hal tersebut. Konsep ini. pada hakikatnya bertujuan untuk menjaring potensi wakaf sedemikian rupa agar dapat dimanfaatkan secara maksimal. Wakaf tunai juga melibatkan lembaga keuangan syariah sebagai mediator, namun yang mungkin belum diatur adalah adanya lembaga penjamin untuk mengantisipasi kemungkinan habisnya harta wakaf apabila terjadi pailit. Harus disadari pula bahwa pengelolaan dana wakaf tunai ini merupakan dana publik yang harus dipertanggungjawabkan secara trasparan dan accountable. Suatu peraturan Undang-undang yang baik selain tergali dari nilai-nilai sosiologis masyarakat juga harus dapat diimplementasikan dan memiliki daya tegak. Karenanya undang-undang ini perlu mendelegasikan peran-peran teknis tertentu kepada peraturan dibawahnya agar ketentuan dan norma-norma dalam undang-undang dapat teraplikasi dan menghindari undang-undang ini kelak dari kemandulan, sehingga perlu segera disiapkan peraturan pelaksana dan perangkat-perangkat penunjangnya. Disusunnya undang-undang ini juga dalam rangka menjamin kepastian hukum dan menjadi koridor kebijakan dalam advokasi dan penyelesaian sengketa wakaf. Undang undang wakaf ini mengamanatkan dibentuknya sebuah badan independen dan berskala nasional yang bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap nazhir, memberikan persetujuan dan perubahan peruntukkan status wakaf, mengelola dan mengembangkan wakaf serta berwenang memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam hal penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. Badan Independen ini pula yang bertugas mengembangkan wakaf secara produktif dan sesuai syari’at Islam melalui penggalian konsep fiqh wakaf. Tampaknya tugas inilah yang paling penting untuk segera direalisasikan. Pengawasan terhadap badan ini dilakukan melalui audit oleh lembaga audit yang juga independent dan hasilnya diumumkan pada khalayak. Sosialisasi pengembangan wakaf produktif kepada masyarakat juga bukan masalah yang sederhana, pemahaman yang sudah melekat di masyarakat tentang bentuk wakaf yang tidak produktif dan terbatas pada fungsi-fungsi tertentu membutuhkan proses pembelajaran sekaligus pembuktian yang membutuhkan energi yang tidak sedikit. Disanalah peran strategis BWI (Badan Wakaf Indonesia) dalam mereposisi peran wakaf agar mampu menjawab probelmatika sosial yang dialami umat. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan tulis komentar anda