welcome

Senin, 04 Mei 2009

Kontroversi ayat-ayat cinta (buku dan film)

Kontroversi ayat-ayat cinta (buku dan film)

sebuah hasil pemikiran akan selalu memiliki pihak-pihak yang pro dan kontra (netral juga). Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam pola pikir, sudut pandang, alat analisa, wawasan, ilmu, dan perbedaan pada beragam hal lainnya. Tidak terkecuali hasil pemikiran yang berbentuk karya seni. Lihat saja kasus ayat-ayat cinta.

Pada kawasan Indonesia, buku novel ayat-ayat cinta sebagai hasil pemikiran penulisnya telah menuai kritik dari para pihak yang kontra sekaligus mendapatkan beragam pujian dari pihak yang pro. Kritik utama dan paling sering diungkap ke hadapan umum adalah keluarbiasaan Fahri sebagai tokoh utamanya. Menurut para pengritik, sosok fahri terlalu sempurna untuk ukuran seorang manusia. Oleh penulisnya, fahri digambarkan sebagai manusia yang taat beragama, cerdas, ulet, sensitif terhadap masalah sosial, pemberani, tegas, baik hati, setia, dan paham ilmu agama. Fahri menjadi seorang mahasiswa yang selalu mendapatkan gelar “luar biasa” selama dia kuliah. Penggambaran tersebut, dianggap oleh para pengritik sebagai sebuah ketidakmungkinan, atau bisa disebut sebagai khayalan tingkat tinggi, sehingga ada salah seorang saudara saya yang membuat tugas tentang ini dengan memberi judul “matinya sang pengarang”.

Bagi masyarakat Indonesia, terutama para pengritik, mungkin sosok seperti fahri masih berupa angan-angan saja, karena mereka belum pernah melihat manusia yang memiliki gambaran seperti Fahri. Bagaimana dengan pendapat penulisnya?

“…bagiku, tokoh Fahri itu justru masih kurang sempurna. Harus aku sempurnakan lagi. Dia harus lebih berjiwa malaikat ketimbang yang sudah ada. Kupikir, orang-orang kita bangsa Indonesia ini menilai fahri terlalu sempurna, karena selama ini mereka tidak pernah disuguhi bacaan dan tontonan dengan kualitas perilaku seperti fahri …”
(http://guahira.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=16&Itemid=47)

itulah pendapat sang penulis terhadap tokoh gambarannya.

Sama halnya pada format buku, film ayat-ayat cinta pun mendapatkan pihak-pihak yang pro dan kontra. Meskipun film resminya belum ditayangkan di bioskop mana pun selain dalam rangka premiernya, tapi kritik dan pujian sudah mulai bermunculan, ada tiga kemungkinan. Pertama, komentator mengomentari dari hanya sebatas yang dia lihat di premier film, yang sebenarnya belum sepenuhnya rampung. Kedua, komentator mengomentari berdasarkan film bajakannya, yang sebenarnya berasal dari premiernya. Ketiga, komentator mengomentari berdasarkan cerita dari orang yang pernah melihat premiernya atau dari film bajakannya.

Kritik-kritik yang muncul lebih kepada ketidaksesuaian film dengan novel. Kritik juga tertuju pada kurang syar’i nya film ayat-ayat cinta. Film yang berasal dari novel ini dikritik sebagai film yang lebih mirip sinetron-sinetron religi yang sering ditayangkan di televisi. Hal yang menarik dalam fenomena film ayat-ayat cinta bukanlah apa yang dikritik oleh para pengritik, tetapi lebih kepada siapa para pengritik.

Pihak pemberi pujian memiliki keanekaragaman jika dibandingkan dengan pihak pemberi kritik. Para pengritik didominasi oleh para manusia yang oleh sebagian masyarakat disebut sebagai aktivis dakwah Islam. Mereka adalah orang-orang yang umumnya beraktivitas dan berjuang serta bertujuan untuk menegakkan syari’at Islam di kalangan masyarakat. Umumnya mereka pun termasuk orang-orang yang pernah membaca novel ayat-ayat cinta. Terlepas dari apakah mereka termasuk para pengritik novel atau pemuji novel, yang jelas mereka menganggap bahwa film ayat-ayat cinta berbeda dengan novel ayat-ayat cinta. Menurut mereka film ayat-ayat cinta tidak layak untuk ditonton karena nilai dakwahnya tidak sebanding dengan novel ayat-ayat cinta, bahkan ada beberapa bagian yang justru dianggap meruntuhkan image aktivis dakwah.

“Ayat-ayat Cinta di proyeksikan untuk Idul Adha, Natal dan Tahun Baru. Bisa kebayang bukan, siapa yang akan menonton film ini.”(http://hanungbramantyo.multiply.com/journal/item/3).

Itulah pandangan pembuat filmnya tentang film ayat-ayat cinta.

Berikut ada kutipan yang isinya adalah “sesuatu” dari salah seorang tokoh penulis yang juga merupakan seorang aktivis dakwah

“Seperti kata seorang teman, “Bisa jadi film itu memang cukup memadai buat sebagian penonton, tahu sendiri selera sebagian besar penonton Indonesia… bisa diukur dari sinetron-sinetron di tivi. Film AAC memang dibuat bukan untuk penonton macam ‘kita’”.
(http://forum.dudung.net/index.php?topic=2812.285)

sebagai penutup, ada baiknya sebelum kita mengomentari sesuatu, komentarilah terlebih dahulu diri sendiri, sudahkah kita melihat beragam sisi yang sebelumnya belum pernah dilihat? Sudahkah kita melihat apa yang dilihat oleh yang akan kita komentari? Sudahkah kita melihat apa yang subjek komentar kita ingin perlihatkan kepada orang lain? Jika anda menanyakan kembali pertanyaan itu kepada saya, maka jawaban saya adalah “sudah, meskipun tak sempurna”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan tulis komentar anda